Kunci Keberuntungan dan Kejayaan


Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (Al-Ma’idah: 35)

Ayat ini, menurut Hamka, menjelaskan tentang kunci agar umat Islam mendapatkan keberuntungan dan kejayaan. Pertama adalah dengan bertakwa yang berarti takut dan memelihara yang terkandung di dalamnya makna khauf, takut akan azab-Nya dan raja’, mengharap akan rahmat-Nya.  Kedua, hendaklah disusun wasilah, yaitu jalan-jalan dan cara-cara supaya kian lama kian mendekati Tuhan. Yaitu dengan memperbanyak amal ibadah, berbuat kebajikan, menegakkan budi pekerti yang tinggi, dan belas kasihan kepada sesama manusia. Semakin banyak amal kebajikannya, semakin dekat ia ke tempat yang diridhai-Nya. Oleh sebab itu, menurut Hamka, wasilah adalah amal usaha sendiri, bukan dengan memakai perantaraan orang lain (Hamka, 2010, VI: 304-305). Hamka kemudian menjelaskan dengan panjang lebar tentang masalah wasilah dan tawassul dan pentingnya pemahaman tentang hal ini agar tidak terjatuh pada kesyirikan. Kunci kejayaan umat Islam yang ketiga adalah berjihad di jalan-Nya.

Jalan Allah itu, menurut Hamka, adalah lurus, menuju tujuan yang tentu dan pasti. Setiap orang diperintahkan untuk melalui jalan itu menuju tujuan yang pasti, yaitu Allah. Orang dapat berjihad dengan bakatnya sendiri di dalam lapangannya sendiri. Semua pekerjaan yang baik dan dengan tujuan baik termasuk dalam kategori jalan Allah. Jika pekerjaan tersebut dilakukan dengan sungguh-sungguh, hal tersebut juga dinamakan dengan jihad. Berperang melawan musuh yang hendak merusak agama dan negara adalah jihad, akan tetapi itu adalah salah satu dari cabang jihad dan bukan satu-satunya. Menuntut ilmu pengetahuan, mendidik pemuda supaya menjadi muslim yang baik, mendirikan bangunan-bangunan yang bermanfaat, bertani bercocok tanam, berdagang, bekerja dalam pemerintahan, menurut Hamka, hendaklah dikerjakan dengan semangat jihad, berjuang dan bekerja keras dengan niat mendapatkan ridha-Nya. Hasil dari jihad itu adalah supaya kaum muslim mendapatkan kejayaan dunia dan akhirat (Hamka, 2010, VI: 305).

Substansi Penafsiran

Ayat tersebut menjelaskan tentang syarat yang harus dilakukan oleh kaum mukmin untuk mendapatkan kesuksesan dan kejayaan, yaitu bertakwa kepada Allah, mengatur jalan supaya dapat cepat sampai kepada Allah dengan ibadah, amal saleh dan do’a (wasilah), dan dengan berjihad, bersungguh-sungguh, bekerja keras mengatasi segala hambatan dan rintangan yang dapat menghambat untuk sampai pada ridha Allah

Tingkat Martabat Seseorang karena Perjuangan


Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar,An-Nisa’: 95

Jihad, menurut Hamka, berarti kerja keras, bersungguh-sungguh dan berperang. Kadang-kadang jihad dikhususkan artinya dengan berperang. Setelah hijrah ke Madinah datanglah perintah jihad yang berarti pada peperangan. Hanya saja, perintah perang baru bersifat umum, mengorbankan harta dan jiwa. Bahkan para Mujahidin yang akan berangkat perang diminta untuk mengorbankan hartanya untuk keperluan belanja perang dan membeli sendiri senjata mereka yang akan dipakai dalam peperangan (Hamka, 2010, V: 276).
Para Ulama Fiqh menetapkan bahwa hukum berjihad ke medan perang adalah fardhu kifayah. Akan tetapi, jika musuh sudah masuk ke dalam negeri, hukumnya menjadi fardhu ‘ain pada seluruh penduduk negeri tersebut.
Sebelum ayat ini turun, kata Hamka ketika ada orang yang malas dalam memenuhi perintah perang padahal dia tidak berhalangan, maka ia ia hanya akan mendapatkan celaan batin dan tidak akan ditegur. Karena tidak teguran inilah, maka orang yang malas dapat mengemukakan berbagai dalih dan alasan agar ia tidak mengorbankan harta dan jiwanya untuk berjihad. Maka, turunlah ayat ini yang mengemukakan tentang keutamaan orang yang mau berjihad dibandingkan dengan orang-orang yang duduk, bermalas-malas dan enggan berkorban untuk berjihad (Hamka, 2010, V: 277).
Ayat ini sangat berkesan di hati para sahabat Nabi sehingga laki-laki dan perempuan, bahkan anak-anakpun bersedia untuk berperang sehingga Nabi harus menguji mereka untuk bergulat, membawa serta yang lebih kuat dan meminta yang kalah untuk bersabar untuk di bawa di lain waktu. Dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari disebutkan bahwa sahabat Ibnu Ummi Maktum yang buta menghadap kepada Nabi untuk diizinkan berjihad karena dia ingin mendapatkan derajat yang lebih sebagai Mujahid dibandingkan duduk-duduk di rumah. Akan tetapi, karena yang diperintahkan adalah orang yang tidak berhalangan, maka orang yang buta, pincang atau sakit tidaklah termasuk yang mendapatkan perintah ini. Dan ketidakikutsertaan mereka tidak akan membuat derajat mereka rendah sebagaimana orang yang tidak ada halangan dan tidak bersedia berjihad.
Ayat ini juga menjelaskan bahwa walaupun sama-sama beriman dan mendapatkan pahala, akan tetapi jelas bahwa pahala derajat yang ikut berperang itu lebih tinggi dibandingkan yang hanya beriman dan tidak ikut serta berperang tanpa adanya halangan (Hamka, 2010, V: 278).
Ayat ini juga menjelaskan, menurut Hamka, bahwa berjuang itu dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan harta benda dan dengan diri sendiri, yaitu turut pergi perang dan bersedia mati. Oleh karena itu, Allah kembali menegaskan bahwa walaupun yang pergi dan tidak pergi sama-sama berpahala karena sama-sama beriman, namun yang pergi berjihad mendapatkan derajat yang istimewa yang tidak didapatkan orang yang tidak ikut berjihad (Hamka, 2010, V: 279)
Substansi Penafsiran
Ayat ini menerangkan tentang keutamaan orang-orang yang berjihad di jalan Allah. Orang-orang yang beriman dan berjihad memiliki keistimewaan dan derajat yang lebih tinggi dibanding orang-orang yang beriman yang duduk-duduk di rumah, bermalas-malasan dan enggan pergi berjihad. Ayat ini juga menjelaskan bahwa kewajiban berjihad adalah pada orang-orang yang tidak mendapatkan halangan, baik karena cacat tubuh, sakit atau karena halangan lain seperti tidak adanya kendaraan yang mengangkut mereka. Cara untuk berjihad dapat dilakukan dengan dua hal, yaitu dengan harta dan dengan diri sendiri, yaitu berngkat berperang dan siap untuk mati di medan perang.