Uji Konsistensi


Sebenarnya saya berniat untuk tidak menulis hal yang berkaitan dengan awal Syawal di tahun ini. Ini karena saya merasakan persoalan ini jadi rutinitas yang Wallahu A’lam kapan berakhirnyam selain juga karena sudah terlalu banyaknya tulisan tentang ini sejak sebulan yang lalu. Beberapa teman memang menanyakan tentang kepastian kapan Idul Fitri,  baik lewat WA, FB maupun langsung telepon. Tanggal 17, ataukah 18. Saya menjawab sesuai dengan informasi yang saya miliki dengan kemungkinan-kemungkinan yang ada.
Tapi,  akhirnya,  saya menulis juga tentang awal Bulan Hijriah tahun ini dari  sisi yang agak berbeda,  yakni tentang uji konsistensi.
Posisi hilal pada tanggal 29 Ramadhan besok memang sangat menarik untuk melihat sisi ini. Muhammadiyah dengan wujudul hilalnya memang nampak “lebih konsisten” dengan kriterianya,  dan lebih mudah mengaplikasikannya. Saya tidak akan membahas sisi syar’i dan astronomi kriteria ini karena akan sangat melelahkan mendebatkannya. Pemerintah dengan kriteria MABIMS nya saat ini akan mengalami uji konsistensi yang sebenarnya. Apakah imkanurrukyah benar-benar akan dipakai pada saat ini, ataukah tidak. Apakah hasil rukyah faktual akan dijadikan dasar penetapan awal bulan Syawal ini ataukah tidak. Pemerintah memang menggunakan kriteria Imkanurrukyah MABIMS selama ini,  hanya saja,  sering sekali menjadikan hasil rukyah sebagai dasar itsbatnya,  dan bukan kriteria imkanurrukyahnya.
Oleh karena itu, menarik menunggu sidang itsbat nanti,  apakah akan menetapkan Idul Fitri 1436 H pada hari Jum’at,  17 Juli 2015 dengan landasan sudah memenuhi kriteria imkanurrukyah walaupun tidak didukung hasil pengamatan faktual yang positif, ataukah menjadikan hasil rukyah sebagai dasar penetapan walaupun hasil pengamatan “mungkin” ada yang meragukan,  ataukah menjadikan hasil pengamatan faktual sebagai dasar utama sehingga ketika hilal tidak teramati,  maka Ramadhan akan diistikmalkan sehingga 1 Syawal adalah 18 Juli 2015?
Juga menarik untuk menanti ikhbar dari NU yang menggunakan rukyah sebagai dasar penetapan awal bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah. Apakah jika hilal tidak teramati pada tanggal 29 Ramadhan nanti,  maka NU akan lebih akhir dalam melaksanakan Idul Fitri dan berpotensi berbeda dalam mengawali Syawal dengan hasil itsbat Pemerintah, ataukah akan mengumumkan terlihatnya hilal walaupun “mungkin” tidak didukung bukti empiris astronomis.
Selain itu,  juga akan menarik mengamati konsistensi Persis dengan kriteria LAPAN yang jelas akan berbeda dengan Muhammadiyah,  dan mungkin berbeda dengan itsbat Pemerintah. Pada kasus berbeda dengan Pemerintah,  Persis pasti akan mendapat kritikan tajam karena justru menjadikan kriteria LAPAN sebagai potensi ketidakbersatuan dalam penentuan awal bulan hijriah di Indonesia. Dan ini akan menjadi babak baru dalam dinamika penyatuan awal bulan hijriah di Indonesia.
Dan catatan saya terakhir adalah,  apakah akan ada data baru pengamatan hilal di tahun ini,  dimana hilal akan teramati pada ketinggian di bawah 4 derajat,  dan tentunya itu akan menjadi koreksi beberapa kriteria imkanurrukyah yang sudah ada,  baik di tingkat Internasional seperti kriteria Odeh,  atau di tingkat nasional seperti kriteria RHI dan LAPAN. Mari kita nantikan dan buktikan.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1436 H,  Mohon Maaf Lahir dan Batin

Perlunya Kekuatan Politik


Diantara hal yang sangat penting dalam penyamaan penentuan awal bulan hijriah,  baik di Indonesia maupun di tingkat Internasional adalah adanya kekuatan atau kekuasaan politik yang menaunginya. Kalender Hijriah Internasional yang digagas oleh banyak ahli dan disuarakan bertahun-tahun tidak akan pernah dapat diterapkan jika tidak ada kekuatan politik yang “memaksanya” untuk diberlakukan.
Sebaik apapun kriteria,  sekuat apapun kriteria itu dibela dengan dalil dan bukti ilmiah,  selama belum “diiyakan” oleh kekuatan politik, maka kriteria itu tetap hanya menjadi “wacana” dan tawaran.
Sebaliknya,  selemah apapun kriteria,  jika itu didukung oleh kekuatan politik,  maka tetap akan berlaku, bahkan walaupun “salah” atau “kurang sempurna” secara ilmiah. Keputusan kontroversial Arab Saudi, dengan menerima kesaksian melihat hilal saat hilal sangat rendah atau bahkan di bawah ufuk,  dalam penentuan awal Dzulhijjah misalnya, tetap berlaku dan diikuti, minimal di negara itu sendiri. Kriteria imkanurrukyah MABIMS yang secara ilmiah astronomis “lemah” pun tetap berlaku di Indonesia selama pemerintah Indonesia tetap memakainya. Dalam Ushul Fiqh dikenal kaidah dalam Istishhab bahwa hukum lama tetap berlaku selagi belum ada hukum baru yang menggantikannya.
Orang boleh mengkritisi kriteria MABIMS,  bahkan membuangnya,  tapi realitas politik mengatakan bahwa itulah kriteria yang diberlakykan Indonesia. Hanya saja,  Indonesia boleh “berbangga” karena keputusan pemerintah tentang penetapan awal bulan hijriah “boleh” tidak diikuti,  ditentang dan diabaikan,  bahkan oleh beberapa kelompok kecil masyarakat.
Nganjuk, 22 juni 2014